Pembangunan di Indonesia

Wacana mengenai permasalahan kualitas sumber daya manusia di Indonesia telah lama diperbincangkan. Namun sungguh disayangkan bahwa dahulu dan bahkan sampai pada saat ini kebijakan pembangunan di Indonesia lebih berkiblat pada sebuah pemikiran yang meyakini bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan pembangunan yang memprioritaskan aspek ekonomi. Pembangunan yang mengacu pada pendekatan pertumbuhan tersebut diyakini kemanjurannya. Maka apabila pembangunan telah mencapai keberhasilan, maka kemiskinan di Indinesia akan terminimalisir dengan sendirinya. Pemikiran ini mengacu pada pandangan Rostow yang mengasumsikan bahwa bila terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sebagai konsekwensinya akan terjadi ‘tricle down effect’ (tetesan ‘rejeki’ kebawah). Secara teori, pemikiran tersebut dapat menjadikan sebuah negara menjadi maju dan makmur. Tetapi pembangunan yang mengabaikan pemberdayaan kualitas sumber daya tersebut harus dilaksanakan oleh para pelaku pembangunan yang tidak mementingkan segelintir orang saja. Praktik kolusi dan nepotisme juga merajalela. Sehingga pembangunan yang selama ini dilakukan menjadi suatu hal yang tidak berarti. Apalagi Indonesia tidak memiliki sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu menjalankan roda pembangunan dengan baik. Sementara itu, hasil-hasil pembangunan di Indonesia juga tidak sampai pada penduduk yang tinggal di daerah pedesaan. Pada akhirnya para penduduk desa banyak yang tergiur dengan kehidupan di daerah perkotaan. Secara ideal, pembangunan yang dilakukan seharusya dapat memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk keluar dari kondisi serba kekurangan dan meraih kualitas hidup yang baik. negara pun dapat mencapai kondisi kesejahteraan sosial.

Namun harus diakui, tantangan Indonesia untuk menjadi negara maju tidaklah mudah. Tantangan utama, Indonesia harus bisa memberantas korupsi dalam pemerintahan dan semua sektor kegiatan ekonomi. Masalah korupsi kini telah menjadi hambatan pembangunan di hampir seluruh sektor pembangunan di Indonesia. Masih maraknya korupsi, telah mengurangi kualitas dari hasil pembangunan. Misalnya gedung sekolah yang baru dibangun, bisa saja runtuh dalam waktu  satu tahun karena kualitas bangunannya yang rendah akibat di korupsi.

Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengatasi perilaku birokrasi dalam mengkoordinasi pembangunan, baik diantara internal pemerintahan maupun pusat dengan daerah. Misalnya pada saat ini banyak rencana pembangunan jalan-jalan tol yang macet bertahun-tahun, karena tidak ada kerjasama yang baik didalam pembebasan lahan diantara instansi terkait. Padahal dengan terbangunnya jalan-jalan tol dimaksud, maka akan memperlancar barang dan jasa untuk ekspor dan impor, baik melalui bandara udara maupun pelabuhan laut, sehingga akan berdampak positif terhadap perkembangan investasi di Indonesia.

Begitu pula ternyata tidak mudah untuk mensinergikan instansi terkait agar arus barang ekspor impor yang melalui pelabuhan-pelabuhan laut di Indonesia dapat berjalan dengan lancar. Inilah salah satunya yang menyebabkan daya saing kita masih rendah dibandingkan Singapura atau Malaysia.

Merubah paradigma birokrasi dari “dilayani”  menjadi “melayani”  dan mempercepat prosedur, memang tidak mudah. Meskipun reformasi birokrasi sudah dilaksanakan dan ada perbaikan di sejumlah instansi pemerintah, tapi tetap saja masyarakat belum puas.

Analisis saya,

Kalau Indonesia sudah berhasil mengatasi dua tantangan diatas, yaitu pemberantasan korupsi dan merubah perilaku birokrasi menjadi lebih efisien, bersifat melayani, dan mampu mensinergikan instansi terkait untuk mendukung pembangunan, maka saya yakin Indonesia tidak perlu menunggu sampai tahun 2030 untuk bisa berdiri sejajar dengan bangsa- bangsa maju lainnya.