Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif yang diberikan suatu hukum atau peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Menurut UU yang telah disahkan oleh DPR-RI pada tanggal 21 Maret 1997, HaKI adalah hak-hak secara hukum yang berhubungan dengan permasalahan hasil penemuan dan kreativitas seseorang atau beberapa orang yang berhubungan dengan perlindungan permasalahan reputasi dalam bidang komersial (commercial reputation) dan tindakan / jasa dalam bidang komersial (goodwill).

Dengan begitu obyek utama dari HaKI adalah karya, ciptaan, hasil buah pikiran, atau intelektualita manusia. Kata “intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO, 1988:3). Setiap manusia memiliki memiliki hak untuk melindungi atas karya hasil cipta, rasa dan karsa setiap individu maupun kelompok.

Kita perlu memahami HaKI untuk menimbulkan kesadaran akan pentingnya daya kreasi dan inovasi intelektual sebagai kemampuan yang perlu diraih oleh setiap manusia, siapa saja yang ingin maju sebagai faktor pembentuk kemampuan daya saing dalam penciptaan Inovasi-inovasi yang kreatif.

Prinsip-prinsip Hak Kekayaan Intelektual

Prinsip-prinsip Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) adalah sebagai berikut :

  1. Prinsip Ekonomi

Dalam prinsip ekonomi, hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif dari daya pikir manusia yang memiliki manfaat serta nilai ekonomi yang akan member keuntungan kepada pemilik hak cipta.

  • Prinsip Keadilan

Prinsip keadilan merupakan suatu perlindungan hukum bagi pemilik suatu hasil dari  kemampuan intelektual, sehingga memiliki kekuasaan dalam penggunaan hak atas kekayaan intelektual terhadap karyanya.

  •  Prinsip Kebudayaan

Prinsip kebudayaan merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan, sastra dan seni guna meningkatkan taraf kehidupan serta akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, bangsa dan Negara.

  • Prinsip Sosial

Prinsip sosial mengatur kepentingan manusia sebagai warga Negara, sehingga hak yang telah diberikan oleh hukum atas suatu karya merupakan satu kesatuan yang diberikan perlindungan berdasarkan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat/ lingkungan.

Undang Undang yang Mengatur Hak Atas Kekayaaan Intelektual

Dalam penetapan HaKI tentu berdasarkan hukum-hukum yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dasar-dasar hukum tersebut antara lain adalah :

  • Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO)
  • Undang-undang Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan
  • Undang-undang Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta
  • Undang-undang Nomor 14/1997 tentang Merek
  • Undang-undang Nomor 13/1997 tentang Hak Paten
  • Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of   Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization
  • Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Trea
  • Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of             Literary and Artistic Works
  • Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty

Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut maka Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dapat dilaksanakan. Maka setiap individu/kelompok/organisasi yang memiliki hak atas pemikiran-pemikiran kreatif mereka atas suatu karya atau produk dapat diperoleh dengan mendaftarkannya ke pihak yang melaksanakan, dalam hal ini merupakan  tugas dari Direktorat Jenderal Hak-hak Atas Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia.

Klasifikasi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI)

Secara umum Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) terbagi dalam dua kategori, yaitu :

  1. Hak Cipta
  2. Hak Kekayaan Industri, yang meliputi :
    1. Hak Paten
    2. Hak Merek
    3. Hak Desain Industri
    4. Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
    5. Hak Rahasia Dagang
    6. Hak Indikasi

Studi Kasus Pelanggaran HAKI:

          HAKI mendapatkan sorotan khusus karena hak tersebut dapat disalahgunakan dengan jauh lebih mudah dalam kaitannya dengan fenomena konvergensi teknologi informasi yang terjadi. Tanpa perlindungan, obyek yang sangat bernilai tinggi ini dapat menjadi tidak berarti apa-apa, ketika si pencipta atau penemu tidak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkannya selama proses penciptaan ketika orang lain justru yang memperoleh manfaat ekonomis dari karyanya. Di Indonesia pelanggaran HAKI sudah dalam taraf yang sangat memalukan. Indonesia mendudki peringkat ketiga terbesar dunia setelah Ukraine dan China dalam soal pembajakan software. Tingkat pembajakan yang terjadi di Indonesia dalam bidang komputer sungguh sangat memprihatinkan. Sekitar lebih dari 90% program yang digunakan di Indonesia merupakan program yang disalin secara ilegal.
Dampak dari pembajakan tersebut menurunkan citra dunia Teknologi Informasi Indonesia pada umumnya. Hal ini menurunkan tingkat kepercayaan para investor, dan bahkan juga menurunkan tingkat kepercayaan calon pengguna tenaga TI Indonesia. Pada saat ini bisa dikatakan tenaga TI Indonesia belum dapat dipercaya oleh pihak Internasional, hal ini tidak terlepas dari citra buruk akibat pembajakan ini. Yang lebih memprihatinkan lagi dikarenakan Indonesia merupakan Negara Asia pertama yang ikut menandatangani Perjanjian“Internet Treaty” di Tahun 1997. Tapi Indonesia justru masuk peringkat tiga besar dunia setelah Vietnam dan Cina, sebagai Negara paling getol membajak software berdasarkan laporan BSA (Bussiness Software Alliance).
Suburnya pembajakan softwaredi Indonesia disebabkan karena masyarakatnya masih belum siap menerima HaKI, selain itu pembajakan softwaresepertinya sudah menjadi hal yang biasa sekali di negeri kita dan umumnya dilakukan tanpa merasa bersalah. Bukan apa-apa, di satu sisi hal ini disebabkan karena masih minimnya kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai hak dan kekayaan intelektual yang terdapat pada setiap software yang digunakan. Di sisi lain, harga-harga software propriatery tersebut bisa dikatakan diluar jangkauan kebanyakan pengguna di indonesia.
 
Berikut adalah daftar harga software asli dari Microsoft:.

  • CD Original Windows® 98 Second Edition US$75
  • CD Original Windows® Millennium Edition US$75
  • CD Original Windows® XP Home Edition US$75
  • CD Original Windows® 2000 Professional 1-2CPU US$175
  • CD Original Windows® XP Professional US$175
  • CD Original Windows® 2000 Server 1-4CPU for 5 CALs US$750
  • CD Original Office 2000 SBE Edition (includes MS Word, MS Excel, MSOutlook, MS Publisher,Small Business Tools) US$210
  • CD Original Office XP Small Business Win32 English (includes MS Word, MSExcel, MS Outlook, MS Publisher) US$200.
 
             Harga di atas tentunya sangat jauh jika dibandingkan dengan CD bajakan yang ada di Indonesia. Bagi kita pun, rasanya seperti sudah sangat biasa kita menemukan betapa sofware-softwaretersebut ataupun dalam bentuk collection yang dijual hanya dengan harga yang berkisar antara lima hingga beberapa puluh ribu rupiah di toko-toko komputer, ataupun perlengkapan aksesorisnya.
Permasalahan yang cukup menggelitik adalah kenyataan bahwa penggunaan software bajakan ini tidak hanya melingkupi publik secara umum saja, namun pula mencakup kalangan korporat, pemerintahan, atau bahkan para penegak hukumnya sendiri pun bisa dikatakan belum bisa benar-benar dikatakan bersih dari penggunaan software bajakan. Bagaimana sebenarnya cara yang bisa menjadi pemecahan terbaik dan cost-efective untuk melegalisasikan penggunaan software tersebut? Baik menggunakan opensource ataupun proprietary sama-sama membutuhkan investasi yang (secara makro) cukup besar.
 
Tanggapan:
              Bentuk pelanggaran seperti ini umumnya disebabkan karena beberapa factor seperti lemahnya penegak hukum, kurangnya kesadaran masyarakat serta kondisi ekonomi yang terjadi pada kebanyakan masyarakat Indonesia. Tentunya hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja. Penegakan hukum di bidang HAKI harus dilakukan secara serius dan efektif.
 
              Lemahnya penegak hukum merupakan salah satu factor yang menyebabkan meluasnya pembajakan software maupun penjualannya. Hal ini terjadi karena kurang tegasnya aparat hukum dalam menangani pelanggaran yang terjadi. Rendahnya hukuman yang diberikan kepada si pelaku pelanggaran HAKI menandakan lemahnya penegakan hukum di tanah air yang tidak dapat memberikan efek jera bagi si pelaku, Penyebab lainnya yaitu kadar pengetahuan dan jumlah aparat penegak hukum di bidang HKI masih belum memadai. Masih sedikit anggota Polri yang memiliki pengetahuan dan memahami tentang HKI dan dengan keterbatasan itu memungkinkan terjadinya ‘main mata’ antara penegak hukum dan si pelanggar. Oleh karena itu sebaiknya pemerintah melalui aparat penegak hokum dapat bersama-sama menjalankan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dengan penuh ketegasan menindak pelaku-pelaku pelanggaran dengan hukuman yang kiranya dapat menimbulkan efek jera bagi si pelaku pelanggaran hak tersebut serta menindak tegas aparat yang didapati berkompromi dalam bentuk apapun dengan si pelanggar.
 
                 Kurangnya kesadaran masyarakat akan kasus tersebut serta kondisi ekonomi yang terpuruk di kalangan masyarakat Indonesia pada
umumnya juga merupakan factor yang sangat penting dalam meluasnya peredaran softwarebajakan. Sebaiknya masyarakat sadar bahwa softwareoriginal lebih baik dalam hal kualitas, umur pemakaian dan lain sebagainya. Meskipun harganya sedikit lebih mahal, akan tetapi dapat menimbulkan rasa kepuasan tersendiri dan akan terasa jauh perbedaannya antara kualitas software bajakan dan software original. Upaya dalam menangani peredaran software bajakan tersebut dimulai dari masyarakat itu sendiri, misalnya dengan cara memboikot berbagai jenis software bajakan.